Usaha fotokopi yang saya rintis bersama teman menjadi kegagalan terbesar saya selama belajar berwirausaha. Total modal yang kami kumpulkan sekitar Rp120 juta, tapi lebih dari separuhnya hilang. Rincian pengeluarannya:
- Sewa tempat 2 tahun: Rp30 juta.
- Renovasi dan instalasi: Rp10 juta.
- Pembelian alat dan mesin: Rp60 juta.
- ATK dan lainnya: Rp20 juta.
Selama 2 tahun beroperasi, keuangan selalu minus. Bahkan, uang dan HP kantor pernah hilang dicuri. Di bulan ke-6, saya sudah ingin menjual usaha ini karena tak sesuai ekspektasi, tapi tidak ada yang berminat membeli. Saat masa sewa habis, kami tidak mampu memperpanjangnya lagi.
Akhirnya, kami pindahkan sisa peralatan ke space kecil di warkop "Bonsar". Di sana, usaha fotokopi "Cipta Print" hanya dipakai untuk mendukung layanan penerbitan "Cipta Publishing", seperti mengerjakan proyek atau meeting klien. Karena kurang efektif, saya mulai menjual sebagian alat secara perlahan.
Tragedi bertambah pada Agustus 2024: monitor, CPU, dan beberapa printer hilang dicuri, rugi sekitar Rp15 juta. Tak lama kemudian, warkop Bonsar disew
a orang lain, sehingga sisa peralatan (mesin fotokopi 6075, rak kaca, mesin potong, laminasi, dll) terpaksa saya pindahkan ke kos-kosan saya yang sudah ditempati sejak 2015.
Sayangnya, saat proses pindah, mesin fotokopi terkena rembesan air hujan dari plafon bocor. Beberapa bagian rusak, dan saya tak bisa langsung memperbaikinya karena keterbatasan dana. Mesin itu akhirnya menganggur selama beberapa bulan. Baru pada April lalu, saya bisa memanggil tukang servis langganan. Alhamdulillah, mesinnya kini sudah berfungsi normal kembali.
Ini menjadi pelajaran berharga tentang manajemen risiko, lokasi usaha, dan pentingnya antisipasi kondisi darurat.
Ini menjadi pelajaran berharga tentang manajemen risiko, lokasi usaha, dan pentingnya antisipasi kondisi darurat.
Benar kata orang “Usaha boleh sama, tapi rezeki Allah yang atur”.
0 comments:
Posting Komentar