Laporan KKN ABCD DI DESA MADIGONDO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Gambaran Bentang Alam Desa Madigondo
Desa
Madigondo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Takeran
Kabupaten Magetan. Luas wilayah desa Madigondo adalah ± 235,607 Ha yang terdiri
dari sawah dengan luas 118,774 Ha, tanah kering yang seluas 68,830 Ha dan tanah
fasilitas umum yang memiliki luas 35,773 Ha.[1]
Desa Madigondo terdiri dari 1.453 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah penduduk
keseluruhan sebanyak 4.566 jiwa, yang terdiri dari 2.262 penduduk laki-laki dan
2.304 penduduk perempuan
Mayoritas
penduduk dasa Madigondo memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh
tani. Sebab desa ini memang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, yaitu
118,774 Ha. Sekitar 1087 dari keseluruhan penduduk desa Madigondo bekerja
sebagai petani dan buruh tani. Sedangkan warga yang lain ada yang bekerja
sebagai pegawai negeri sipil, pengrajin industri rumah tangga, peternak, bidan,
perawat, dan lain sebagainya.
Secara
administratif, desa Madigondo menaungi empat dusun yaitu dusun Likasan, dusun
Ngampel, dusun Gambiran, dan dusun Madigondo. Wilayah desa Madigondo berbatasan
dengan empat desa/kelurahan, sebelah utara berbatasan
dengan desa Sambirejo kecamatan Jiwan kabupaten
Madiun, sebelah selatan berbatasan dengan desa Jomblang
kecamatan Takeran, sebelah utara berbatasan dengan sungai Madiun, dan sebelah barat
berbatasan dengan sungai Bandong.
Gambar
1.1 Peta Wilayah Desa Madigondo
B.
Asal Usul Desa
Madigondo
Salah satu warga desa Madigondo menuturkan bahwa nama
Madigondo ini berakar dari nama salah satu tokoh dalam kesenian wayang, yaitu
Madikoro. Madikoro ini memiliki tempat bertapa yang disebut Pertapan Satrio.
Keberadaan tokoh dalam kesenian wayang ini juga menjadi alasan munculnya
nama Madigondo untuk dijadikan nama salah satu desa disudut kabupaten Magetan.
Menurut
Bapak Nur Hasan (58), kata Madigondo ini tersusun dari dua suku kata, yaitu Madi
dan Gondo. Madi berarti madu dan Gondo memiliki makna teko
ngendi-ngendi (dari mana-mana). Sebab dulu daerah ini terkenal sebagai daerah
yang memproduksi banyak madu, banyak orang yang mengusahakan madu dari
kelapa-kelapa yang berada di desa, dengan cara membuat lubang agar lebah
memproduksi madu pada lubang yang disediakan. Banyaknya madu ini mengundang
banyak orang dari berbagai daerah untuk mencari madu. Fenomena yang terjadi
inilah yang menjadikan Kepala Desa untuk berinisiatif memberi nama Madigondo.[2]
Warga
lain mengatakan desa Madigondo
menuturkan bahwa desa Madigondo bermula dari datangnya tujuh orang pendatang
dari Magelang. Ketujuh orang ini pada akhirnya menikah dengan warga setempat,
sampai salah satu dari mereka, yaitu Pak Haji Dulah diangkat sebagai kepala
desa. Kehidupan warga setempat mempunyai karakteristik yang kental dalam kesahajaan hidup, hingga banyak warganya mengatakan
dengan pribahasa. jawa “sakmadyo” atau “..miskin ya ga terlalu
miskin, kaya ya ga terlalu kaya..”, menjadi salah satu motif dipilihnya
nama Madigondo sebagai nama desa.
Pada
masa kepemimpinan Pak Haji Dulah, desa Madigondo belum mencakup wilayah Ngampel,
Gambiran, dan Likasan. Desa Madigondo masih terdiri dari satu dusun atau dukuh
saja, yaitu Madigondo dan dukuh-dukuh yang lain, masing-masing memiliki lurah.
Baru pada saat kepemimpinan Mbah Sumorejo sebagai lurah keempat yang berhasil
menyatukan beberapa wilayah di sekitar Madigondo; baik Ngampel, Gambiran,
maupun Likasan. Menurut Mbah Sumorejo, hal ini dilakukan agar memudahkan
permasalahan atau urusan yang dihadapi oleh warga Madigondo dan wilayah
sekitar, seperti Ngampel, Gambiran, dan Likasan.
Setelah
kepemimpinan Pak Haji Dulah berakhir, pengganti dari lurah tersebut hingga
lurah-lurah berikutnya sampai generasi ke tujuh, masih satu jalur, atau masih
ada hubungan kerabat. Seperti lurah kedua, Pak Barnawi, yang tidak lain adalah
menantu Pak Haji Dulah sendiri. Setelah Pak Barnawi, tampuk kekuasaan desa,
dipegang oleh Pak Madiyo sebagai lurah ketiga. Lurah keempat adalah Mbah
Sumorejo yang salah satu prestasinya adalah meleburkan Ngampel, Gambiran,
Likasan, dan Madigondo ke dalam satu desa dan satu pemimpin. Berikutnya,
kepemimpinan beralih ke Pak Iskandar sebagai lurah kelima. Lurah keenam, adalah
Pak Kusnadi, yang merupakan cucu dari Pak Iskandar. Lalu dilanjutkan oleh Tri
Ahmadi yang juga masih memiliki garis keturunan dengan Pak Haji Dulah, selaku
kepala desa pertama Madigondo.
Setelah
tujuh periode kepemimpinan yang notabennya masing-masing lurah masih memiliki garis keturunan, atau
hubungan kerabat. Maka kepala desa kedelapan, yaitu Pak Bahri, yang merupakan
salah satu warga Gambiran. Setelah kepala desa berada di Gambiran selama dua
periode, tampuk
kepemimpinan kembali ke dukuh Madigondo, yang hingga hari ini dipegang oleh Pak
Andik Budianto.
C.
Adat Istiadat
dan Mitos Desa Madigondo
1.
Bersih Desa
Bersih
desa merupakan acara atau tradisi yang dilaksanakan saat peringatan suro, di sebagian
wilayah Desa Madigondo masih rutin dilaksanakan. Seperti di dusun Likasan,
dimana terdapat Punden di dusun tersebut. Kata Pak Yasir salah satu
warga Desa Madigondo, saat malam suro selain warga menaruh sesajen di Punden, juga mengadakan
kesenian Gambyong. Sedangkan di dusun Madigondo peringatan suro sudah tidak ada
lagi, dahulu warga memang rutin mengadakan kesenian wayang dan mengirim sesajen
ke pohon Beringin yang terdapat di dusun Madigondo. Namun, seiring berkembangnya
zaman tradisi ini sudah tidak ada lagi.
Acara
peringatan suro (suroan) ini juga disebut “Bersih Desa”, sebab kegiatan ini
diselenggarakan dalam rangka agar desa Madigondo tentram, aman, dan tidak ada
kisruh. Sedangkan kesenian seperti Wayang dan Gambyong ini diadakan sebagai
hiburan dan memenuhi kesenangan warga Desa Madigondo kala itu.
2.
Sawah Sedodol dan
Tekuk Penjalin
Sawah
Sedodol dan Tekuk Penjalin merupakan dua tradisi yang pernah ramai diberdayakan
di desa Madigondo, seiring berjalannya waktu, mulai meredup mereka yang
melakukan kegiatan ini. Sawah Sedodol merupakan kegiatan kenduren yang dilakukan petani di lahan pertanian yang mereka
miliki, dimana dalam tradisi ini terdapat beberapa aturan yang wajib dipatuhi. Mulai dari tidak boleh dirasakan atau dimakan sebelum
didoakan saat di sawah. Masakan yang digunakan biasanya adalah nasi dan jenang.
Sedangkan
Tekuk Penjalin juga merupakan kenduren yang dilakukan warga, berbeda dengan
Sawah Sedodol, Tekuk Penjalin ini dilakukan oleh petani yang memiliki sawah
dengan bentuk melengkung. Dalam kenduren ini makanan yang digunakan harus lele,
sebab lele memiliki tekstur yang melengkung sebagaimana tujuan dari Tekuk
Penjalin itu sendiri, yaitu untuk sawah dengan bentuk yang melengkung.[3]
D.
Pola
Perekonomian Masyarakat
Desa
Madigondo memiliki letak yang cukup strategis, meskipun berada diujung atau
pinggiran Kabupaten Magetan, Desa Madigondo berbatasan langsung dengan
Kabupaten dan Kota Madiun. Secara tidak langsung, kedekatan desa Madigondo
dengan kota Madiun ini membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa
Madigondo, termasuk pada aspek ekonomi.
Menurut
salah seorang warga, banyak warga dari Desa Madigondo yang bekerja, baik di
pabrik maupun berjualan, namun bukan di kabupaten Magetan, tetapi di Kota Madiun.
Sebab jarak desa Madigondo dengan kabupaten Magetan yang demikian jauh. Menurut
warga lain , meskipun wilayah desa Madigondo sebagaian besar adalah lahan
pertanian, banyak warga yang malas bekerja sebagai buruh tani, mereka lebih
memilih untuk bekerja di Kota Madiun dari pada “nyangkul” di sawah.
1.
Pola Pertanian
Masyarakat
Madigondo
memiliki lahan pertanian yang cukup luas, yaitu sekitar 118,774 Ha dari
keseluruhan luas wilayah desa yang sekitar 235,607 Ha. Berbeda dengan
daerah-daerah lain di kecamatan Takeran dimana beraneka tanaman palawija dapat
tumbuh. Secara keseluruhan lahan desa Madigondo digunakan untuk tanaman padi,
sebab jenis tanah yang terdapat di desa Madigondo merupakan tanah liat yang
berwarna hitam, yang memang tidak semua dapat hidup pada jenis tanah ini.
Beberapa
bagian lahan pertanian memang digunakan untuk tanaman tebu, seperti yang
terdapat pada lahan yang terletak di antara dusun Madigondo dan dusun Ngampel.
Namun, itu pun dikarenakan lahan telah disewa oleh pihak pabrik yang memproduksi
gula. Setiap kali masa panen tiba, tebu-tebu tersebut diangkut menggunakan truk menuju
pabrik Gula yang terdapat di Kabupaten Purwodadi.
Selain
tebu, beberapa lahan juga ada yang ditanami ketela pohon oleh warga. Seperti di
ujung barat dusun Madigondo, dimana beberapa petak tanah digunakan untuk
tanaman ketela pohon. Akan tetapi, sebagaimana yang dikatakan Pak Katimun,
ketela pohon yang ditanam oleh warga ini seringkali digunakan untuk konsumsi
pribadi, bukan untuk diperjual belikan sebagaimana hasil panen yang lain.
Pola
pertanian di Desa Madigondo dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun.
Mulai dari bulan Desember hingga bulan Juni lahan pertanian ditanami padi,
setiap tiga bulan sekali padi sudah siap untuk dipanen. Sehingga dalam satu
tahun warga memanen padi sebanyak dua kali. Setelah masa penanaman padi
berakhir atau saat curah hujan mulai menurun, warga mulai menanami lahannya dengan Kedelai.
Desember
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agustus
|
September
|
Oktober
|
November
|
|
Musim
|
Hujan
|
Kemarau
|
Hujan
|
|||||||||
Curah Hujan
|
Tinggi
|
Sedang
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
|||||||
Padi
|
Tanam
|
Panen
|
Panen
|
|||||||||
Tanam
|
||||||||||||
Kedelai
|
Tanam
|
Panen
|
Tabel
1.1 Kalender Musim Tanam dan Panen Desa Madigondo
Sistem
pengairan di desa ini dilakukan dengan cara membuat irigasi kanal yang dialirkan menuju sawah-sawah milik warga.
Irigasi kanal
ini merupakan sistem pengairan peninggalan Belanda, yang dibuat dengan cara
membendung sungai bengawan Solo dan mengalihkannya ke area persawahan warga. Sistem pengairan
di desa Madigondo
tersebut memiliki dua orang penanggungjawab yang bertugas mengatur perairan.
Adakalanya pengairan untuk lahan pertanian juga dilakukan dengan menggunakan
deisel.
Pupuk
yang digunakan oleh para petani di desa Madigondo yakni pupuk Urea, ZA, Ponska dan organik. Pupuk Urea merupakan
pupuk yang digunakan untuk menguatkan akar padi. Pupuk ZA berfungsi untuk
menyuburkan daun dan Ponska merupakan pupuk yang digunakan untuk pertumbuhan
padi. biasanya masyarakat Madigondo menggunakan pupuk-pupuk tersebut untuk padi
yang mereka tanam di lahan yang mereka miliki.
2.
Keadaan
Infrastruktur Desa
Infrastruktur
atau prasarana yang terdepat di desa Madigondo antara lain seperti jalan, gedung, dan lain
sebagainya. Keadaan jalan di desa Madigondo secara keseleruhan cukup memadai, warga
tidak kesulitan perihal akses jalan untuk dilalui. Sebagian besar jalan yang
menjadi sarana warga sudah diaspal, baik di dusun Madigondo, Likasan, Ngampel,
maupun Gambiran. Kondisi jalan pun rata-rata masih tampak baik dan masih nyaman
untuk digunakan, tidak ada kerusakan parah yang membuat warga resah.
Akan tetapi ada
beberapa titik jalan yang mengalami kerusakan, dan sebagian masih terdapat jalan
yang masih belum diaspal. Seperti jalan yang menghubungkan antara dusun Madigondo
dan dusun Ngampel, jalan yang berada di area persawahan ini memang sedikit
mengalami kerusakan, mulai dari aspal jalan yang sudah mulai rusak maupun
kondisi jalan yang masih dibiarkan berupa tanah.
Infrastruktur
lain di desa
Madigondo adalah gedung kelurahan. Desa Madigondo memiliki gedung kelurahan
yang cukup megah, gedung ini selain digunakan sebagai tempat pertemuan warga
baik untuk rapat maupun sosialisasi, juga sebagai gedung olahraga, seperti
kegiatan olahraga badminton yang rutin dilaksanakan.
E.
Kondisi
Kesehatan Masyarakat
Dalam
bidang kesehatan, desa Madigondo memang sudah ada fasilitas kesehatan yang
memadai, keberadaan Puskesmas pembantu di desa ini sudah terpakai dengan kodisi
gedung yang baru dan layak pakai . Menurut Pak Andik kepala desa Madigondo,
saat ini tengah merencanakan penambahan fasilitas di
Puskesmas tersebut dengan menambah peralatan dan
manambah tenaga kesehatan yang professional .
dan sekarang sudah siap untuk digunakan
Letak
desa Madigondo yang demikian dekat atau bahkan berbatasan langsung dengan kota
Madiun ini, menjadikan warga Madigondo berinisiatif untuk berobat ke kota
Madiun. Sebab di kota Madiun tentu banyak fasilitas kesehatan yang memadai
serta berkualitas. Ada kalanya, warga desa Madigondo berobat ke mantri kesehatan
setempat atau dokter yang membuka praktek, karena di desa sendiri terdapat dua
orang mantri dan satu orang dokter yang bekerja.
F.
Pola Keagamaan
Masyarakat
Mayoritas
penduduk desa Madigondo beragama Islam, sampai hari ini tidak ada pemeluk agama
lain dalam bentuk komunitas. Secara personal dalam profil desa Madigondo juga
disebutkan beberapa personal atau warga yang memang memeluk agmaa lain Namun,
sementara ini tidak ada di antara mereka yang mengadakan
kegiatan keagamaan di tempat umum. Dilihat dari tempat ibadah, banyak masjid
maupun mushola
yang menghiasi desa Madigondo. Mulai di dusun Madigondo yang terdapat masjid
al-Mustaghfirin dan Miftahul Huda, dusun Ngampel teradapat Masjid Babul
Firdaus, di Gambiran terdapat masjid Darul Ilmi dan Masjid Musya’idin, begitu
pula di dusun Likasan, meskipun sampai hari ini masih belum selesai
pembangunannya, kegiatan ibadah masih tetap berlangsung di masjid yang terdapat
di Likasan tersebut.
Setiap
masjid yang terdapat di Desa Madigondo secara keseluruhan digunakan sebagai Tempat Pembelajaran Al-Quran (TPA). TPA di desa Madigondo memang cukup banyak, dan hampir kesemuannya memiliki
banyak anak didik yang antusias untuk belajar. Seperti TPA As-Salam yang
terletak di sebelah masjid al-Mustaghfirin (RT 3 Dusun Madigondo), dimana cukup banyak
santri yang belajar, baik saat kelas sore (15:30-16:30) maupun kelas malam
(18:30-19:00), menurut ust. Agus –salah satu pngajar TPA- mengatakan, bahwa
sebenarnya TPA ini kurang dalam hal tenaga pndidik. Begitu pula TPA yang
terdapat di masjid Miftahul Huda yang santrinya mencapai 40 anak.
Kegiatan
keagamaan di Desa Madigondo pun cukup beragam, di Masjid Baitul
Mustaghfirin sendiri setiap malam jum’at pon ada kegiatan
istighasah
(mujahadah asma’ul husna) yang dipimpin langsung oleh Kiyai Khalil.
Setiap rabu legi ada kegiatan pengajian yang mengundang pembicara atau Kiyai
dari luar daerah, menurut Pak Gunawan peserta yang hadir kadang mencapai 300
orang. Di Masjid Darul Ilmi, selain kegiatan belajar al-Qur’an juga terdapat
kegiatan kesenian hadrah, yang menurut Pak Ahmad - salah satu warga Gambiran-
peserta yang hadir dari berbagai desa di kecamatan Takeran.
Kebanyakan
warga desa Madigondo memiliki background Nahdliyin, sedikit bahkan
hampir tidak ada yang bernaung dalam ormas lain. Hal ini tampak dari banyaknya
amaliyah yang bercirikan Nahdatul Ulama’ yang diamalkan warga desa Madigondo,
mulai dari kegiatan tahlilan yang dilaksanakan setiap malam jumat di Masjid
Mustaghfirin, setiap ada yang meninggal pun selalu diadakan kegiatan tahlil bersama
di kediaman orang yang meninggal. Selain tahlilan, beberapa mushola juga
mengadakan kegiatan yasinan yang dilaksanakan oleh warga.
Di
Desa Madigondo–terutama di dusun Gambiran- menurut sebagaian warga memiliki
pemahaman agama yang cukup baik di banding dusun lain di desa Madigondo. Sebab
di dusun Gambiran terdapat pondok pesantren Musa’idin yang telah berdiri sejak
1926 silam. Pada awalnya santri yang belajar pesantren mulai dari pagi hingga
malam, akan tetapi sejak berdirinya MIN Madigondo saat pagi hari santri belajar
di Madrasah dan saat malam mereka mengikuti kegiatan Dinniyyah di
pesantren, mulai dari belajar al-Qur’an, kitab kuning, maupun rutinitas hadrah.
Menurut warga, seluruh anak-anak maupun pemuda di dusun Gambiran tidak ada yang
tidak pergi ke pesantren saat malam hari.
G.
Kondisi
Pendidikan Masyarakat
Di
desa Madigondo terdapat beberapa lembaga pendidikan formal, yaitu satu SD, dan
dua Madrasah Ibtidaiyyah. SDN 1 Madigondo yang terletak di dusun Madigondo
tampak tidak jauh berbeda dari SD pada umumnya. Satu kelas terdiri antara 15
hingga 20 siswa. Mata pelajaran juga tidak banyak berebada, BTQ (Baca Tulis
Al-Qur’an) pun sudah masuk dalam jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Secara
tenaga pengajar/pendidik di SDN 1 Madigiondo juga cukup memadai, hanya guru
mata pelajaran bahasa inggris yang belum ada. SD ini juga terdapat berbagai
ekstra yang menunjang keterampilan siswa, seperti pramuka, drum band, tari, dan
sebagainya.
Sedangkan
dua MI yang terdapat di desa Madigondo terletak di dusun Ngampel dan Gambiran.
Madrasah yang ada di dusun Ngampel masih belum berstatus negeri sebagaimana MI
di Gambiran. Madrasah ini kondisinya juga cukup miris dilihat dari jumlah siswa
yang belajar di MI tersebut, satu kelas sekitar 5 anak. Hal ini disebabkan
keberadaan MI yang terletak di antara dua lembaga pendidikan negeri, yaitu SDN
1 Madigondo dan MIN Madigondo. Terlebih lagi posisi desa Madigondo yang
bersebelahan dengan kota Madiun. Banyak orang tua yang lebih memilih
menyekolahkan anaknya di sekolah negeri di banding swasta.
Mengenai
MIN Madigondo memang
cukup besar, siswa yang bersekolah di madrasah ini juga cukup banyak, satu
kelas lebih dari 20 siswa. Sarana yang ada pun dapat dibilang cukup, mulai dari
gedung untuk kegiatan pembelajaran, lapangan; baik untuk
upacara maupun olahraga. Di madrasah ini juga terdapat berbagai kegiatan
ekstra, mulai dari kegiatan qira’ah, kaligrafi, sempoa, tari dan lain
sebagainya.
Rata-rata
warga desa Madigondo memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama
(SMP), yaitu sekitar 900 orang. Namun, mereka yang menamatkan pendidikannya
hingga strata satu juga cukup banyak, yaitu sebanyak 195 orang, , mereka yang
menamatkan pendidikannya hingga strata dua juga cukup banyak, yaitu sebanyak 10
orang itu pun data pada tahun 2014. Dua tahun berselang, tentu semakin banyak
di antara masyarakat yang meneruskan pendidikannya hingga tingkat lebih tinggi.
Bahkan menurut warga, banyak orang-orang di Gambiran yang melanjutkan
belajarnya ke luar negeri.
0 comments:
Posting Komentar