Rabu, 27 Juli 2016

LAPORAN KKN ABCD Kelompok 102, UINSA 2016




Laporan KKN ABCD DI DESA MADIGONDO

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Gambaran Bentang Alam Desa Madigondo

Desa Madigondo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan. Luas wilayah desa Madigondo adalah ± 235,607 Ha yang terdiri dari sawah dengan luas 118,774 Ha, tanah kering yang seluas 68,830 Ha dan tanah fasilitas umum yang memiliki luas 35,773 Ha.[1] Desa Madigondo terdiri dari 1.453 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 4.566 jiwa, yang terdiri dari 2.262 penduduk laki-laki dan 2.304 penduduk perempuan
Mayoritas penduduk dasa Madigondo memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Sebab desa ini memang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, yaitu 118,774 Ha. Sekitar 1087 dari keseluruhan penduduk desa Madigondo bekerja sebagai petani dan buruh tani. Sedangkan warga yang lain ada yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, pengrajin industri rumah tangga, peternak, bidan, perawat, dan lain sebagainya.
Secara administratif, desa Madigondo menaungi empat dusun yaitu dusun Likasan, dusun Ngampel, dusun Gambiran, dan dusun Madigondo. Wilayah desa Madigondo berbatasan dengan empat desa/kelurahan, sebelah utara berbatasan dengan desa Sambirejo kecamatan Jiwan kabupaten Madiun, sebelah selatan berbatasan dengan desa Jomblang kecamatan Takeran, sebelah utara berbatasan dengan sungai Madiun, dan sebelah barat berbatasan dengan sungai Bandong.














Gambar 1.1 Peta Wilayah Desa Madigondo






B.       Asal Usul Desa Madigondo
Salah satu warga desa Madigondo menuturkan bahwa nama Madigondo ini berakar dari nama salah satu tokoh dalam kesenian wayang, yaitu Madikoro. Madikoro ini memiliki tempat bertapa yang disebut Pertapan Satrio. Keberadaan tokoh dalam kesenian wayang ini juga menjadi alasan munculnya nama Madigondo untuk dijadikan nama salah satu desa disudut kabupaten Magetan.
Menurut Bapak Nur Hasan (58), kata Madigondo ini tersusun dari dua suku kata, yaitu Madi dan Gondo. Madi berarti madu dan Gondo memiliki makna teko ngendi-ngendi (dari mana-mana). Sebab dulu daerah ini terkenal sebagai daerah yang memproduksi banyak madu, banyak orang yang mengusahakan madu dari kelapa-kelapa yang berada di desa, dengan cara membuat lubang agar lebah memproduksi madu pada lubang yang disediakan. Banyaknya madu ini mengundang banyak orang dari berbagai daerah untuk mencari madu. Fenomena yang terjadi inilah yang menjadikan Kepala Desa untuk berinisiatif memberi nama Madigondo.[2]
Warga lain mengatakan desa Madigondo menuturkan bahwa desa Madigondo bermula dari datangnya tujuh orang pendatang dari Magelang. Ketujuh orang ini pada akhirnya menikah dengan warga setempat, sampai salah satu dari mereka, yaitu Pak Haji Dulah diangkat sebagai kepala desa. Kehidupan warga setempat mempunyai karakteristik yang kental dalam  kesahajaan hidup, hingga banyak warganya mengatakan dengan pribahasa. jawa “sakmadyo” atau “..miskin ya ga terlalu miskin, kaya ya ga terlalu kaya..”, menjadi salah satu motif dipilihnya nama Madigondo sebagai nama  desa.
Pada masa kepemimpinan Pak Haji Dulah, desa Madigondo belum mencakup wilayah Ngampel, Gambiran, dan Likasan. Desa Madigondo masih terdiri dari satu dusun atau dukuh saja, yaitu Madigondo dan dukuh-dukuh yang lain, masing-masing memiliki lurah. Baru pada saat kepemimpinan Mbah Sumorejo sebagai lurah keempat yang berhasil menyatukan beberapa wilayah di sekitar Madigondo; baik Ngampel, Gambiran, maupun Likasan. Menurut Mbah Sumorejo, hal ini dilakukan agar memudahkan permasalahan atau urusan yang dihadapi oleh warga Madigondo dan wilayah sekitar, seperti Ngampel, Gambiran, dan Likasan.
Setelah kepemimpinan Pak Haji Dulah berakhir, pengganti dari lurah tersebut hingga lurah-lurah berikutnya sampai generasi ke tujuh, masih satu jalur, atau masih ada hubungan kerabat. Seperti lurah kedua, Pak Barnawi, yang tidak lain adalah menantu Pak Haji Dulah sendiri. Setelah Pak Barnawi, tampuk kekuasaan desa, dipegang oleh Pak Madiyo sebagai lurah ketiga. Lurah keempat adalah Mbah Sumorejo yang salah satu prestasinya adalah meleburkan Ngampel, Gambiran, Likasan, dan Madigondo ke dalam satu desa dan satu pemimpin. Berikutnya, kepemimpinan beralih ke Pak Iskandar sebagai lurah kelima. Lurah keenam, adalah Pak Kusnadi, yang merupakan cucu dari Pak Iskandar. Lalu dilanjutkan oleh Tri Ahmadi yang juga masih memiliki garis keturunan dengan Pak Haji Dulah, selaku kepala desa pertama Madigondo.
Setelah tujuh periode kepemimpinan yang notabennya masing-masing lurah masih memiliki garis keturunan, atau hubungan kerabat. Maka kepala desa kedelapan, yaitu Pak Bahri, yang merupakan salah satu warga Gambiran. Setelah kepala desa berada di Gambiran selama dua periode, tampuk kepemimpinan kembali ke dukuh Madigondo, yang hingga hari ini dipegang oleh Pak Andik Budianto.

C.      Adat Istiadat dan Mitos Desa Madigondo
1.      Bersih Desa
Bersih desa merupakan acara atau tradisi yang dilaksanakan saat peringatan suro, di sebagian wilayah Desa Madigondo masih rutin dilaksanakan. Seperti di dusun Likasan, dimana terdapat Punden di dusun tersebut. Kata Pak Yasir salah satu warga Desa Madigondo, saat malam suro selain warga menaruh sesajen di Punden, juga mengadakan kesenian Gambyong. Sedangkan di dusun Madigondo peringatan suro sudah tidak ada lagi, dahulu warga memang rutin mengadakan kesenian wayang dan mengirim sesajen ke pohon Beringin yang terdapat di dusun Madigondo. Namun, seiring berkembangnya zaman tradisi ini sudah tidak ada lagi.
Acara peringatan suro (suroan) ini juga disebut “Bersih Desa”, sebab kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka agar desa Madigondo tentram, aman, dan tidak ada kisruh. Sedangkan kesenian seperti Wayang dan Gambyong ini diadakan sebagai hiburan dan memenuhi kesenangan warga Desa Madigondo kala itu.

2.      Sawah Sedodol dan Tekuk Penjalin
Sawah Sedodol dan Tekuk Penjalin merupakan dua tradisi yang pernah ramai diberdayakan di desa Madigondo, seiring berjalannya waktu, mulai meredup mereka yang melakukan kegiatan ini. Sawah Sedodol merupakan kegiatan kenduren yang dilakukan petani di lahan pertanian yang mereka miliki, dimana dalam tradisi ini terdapat beberapa aturan yang wajib dipatuhi. Mulai dari tidak boleh dirasakan atau dimakan sebelum didoakan saat di sawah. Masakan yang digunakan biasanya adalah nasi dan jenang.
Sedangkan Tekuk Penjalin juga merupakan kenduren yang dilakukan warga, berbeda dengan Sawah Sedodol, Tekuk Penjalin ini dilakukan oleh petani yang memiliki sawah dengan bentuk melengkung. Dalam kenduren ini makanan yang digunakan harus lele, sebab lele memiliki tekstur yang melengkung sebagaimana tujuan dari Tekuk Penjalin itu sendiri, yaitu untuk sawah dengan bentuk yang melengkung.[3]

D.      Pola Perekonomian Masyarakat
Desa Madigondo memiliki letak yang cukup strategis, meskipun berada diujung atau pinggiran Kabupaten Magetan, Desa Madigondo berbatasan langsung dengan Kabupaten dan Kota Madiun. Secara tidak langsung, kedekatan desa Madigondo dengan kota Madiun ini membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa Madigondo, termasuk pada aspek ekonomi.
Menurut salah seorang warga, banyak warga dari Desa Madigondo yang bekerja, baik di pabrik maupun berjualan, namun bukan di kabupaten Magetan, tetapi di Kota Madiun. Sebab jarak desa Madigondo dengan kabupaten Magetan yang demikian jauh. Menurut warga lain , meskipun wilayah desa Madigondo sebagaian besar adalah lahan pertanian, banyak warga yang malas bekerja sebagai buruh tani, mereka lebih memilih untuk bekerja di Kota Madiun dari pada “nyangkul” di sawah.
1.    Pola Pertanian Masyarakat
Madigondo memiliki lahan pertanian yang cukup luas, yaitu sekitar 118,774 Ha dari keseluruhan luas wilayah desa yang sekitar 235,607 Ha. Berbeda dengan daerah-daerah lain di kecamatan Takeran dimana beraneka tanaman palawija dapat tumbuh. Secara keseluruhan lahan desa Madigondo digunakan untuk tanaman padi, sebab jenis tanah yang terdapat di desa Madigondo merupakan tanah liat yang berwarna hitam, yang memang tidak semua dapat hidup pada jenis tanah ini.
Beberapa bagian lahan pertanian memang digunakan untuk tanaman tebu, seperti yang terdapat pada lahan yang terletak di antara dusun Madigondo dan dusun Ngampel. Namun, itu pun dikarenakan lahan telah disewa oleh pihak pabrik yang memproduksi gula. Setiap kali masa panen tiba, tebu-tebu tersebut diangkut menggunakan truk menuju pabrik Gula yang terdapat di Kabupaten Purwodadi.
Selain tebu, beberapa lahan juga ada yang ditanami ketela pohon oleh warga. Seperti di ujung barat dusun Madigondo, dimana beberapa petak tanah digunakan untuk tanaman ketela pohon. Akan tetapi, sebagaimana yang dikatakan Pak Katimun, ketela pohon yang ditanam oleh warga ini seringkali digunakan untuk konsumsi pribadi, bukan untuk diperjual belikan sebagaimana hasil panen yang lain.
Pola pertanian di Desa Madigondo dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Mulai dari bulan Desember hingga bulan Juni lahan pertanian ditanami padi, setiap tiga bulan sekali padi sudah siap untuk dipanen. Sehingga dalam satu tahun warga memanen padi sebanyak dua kali. Setelah masa penanaman padi berakhir atau saat curah hujan mulai menurun, warga mulai menanami lahannya dengan Kedelai.







Desember
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Musim
Hujan
Kemarau
Hujan
Curah Hujan
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Padi
Tanam


Panen


Panen







Tanam







Kedelai






Tanam


Panen


 Tabel 1.1 Kalender Musim Tanam dan Panen Desa Madigondo
Sistem pengairan di desa ini dilakukan dengan cara membuat irigasi kanal yang dialirkan menuju sawah-sawah milik warga. Irigasi kanal ini merupakan sistem pengairan peninggalan Belanda, yang dibuat dengan cara membendung sungai bengawan Solo dan mengalihkannya ke area persawahan warga. Sistem pengairan di desa Madigondo tersebut memiliki dua orang penanggungjawab yang bertugas mengatur perairan. Adakalanya pengairan untuk lahan pertanian juga dilakukan dengan menggunakan deisel.
Pupuk yang digunakan oleh para petani di desa Madigondo yakni pupuk Urea, ZA, Ponska dan organik. Pupuk Urea merupakan pupuk yang digunakan untuk menguatkan akar padi. Pupuk ZA berfungsi untuk menyuburkan daun dan Ponska merupakan pupuk yang digunakan untuk pertumbuhan padi. biasanya masyarakat Madigondo menggunakan pupuk-pupuk tersebut untuk padi yang mereka tanam di lahan yang mereka miliki.
2.    Keadaan Infrastruktur Desa
Infrastruktur atau prasarana yang terdepat di desa Madigondo antara lain seperti jalan, gedung, dan lain sebagainya. Keadaan jalan di desa Madigondo secara keseleruhan cukup memadai, warga tidak kesulitan perihal akses jalan untuk dilalui. Sebagian besar jalan yang menjadi sarana warga sudah diaspal, baik di dusun Madigondo, Likasan, Ngampel, maupun Gambiran. Kondisi jalan pun rata-rata masih tampak baik dan masih nyaman untuk digunakan, tidak ada kerusakan parah yang membuat warga resah.
Akan tetapi ada beberapa titik jalan yang mengalami kerusakan, dan sebagian masih terdapat jalan yang masih belum diaspal. Seperti jalan yang menghubungkan antara dusun Madigondo dan dusun Ngampel, jalan yang berada di area persawahan ini memang sedikit mengalami kerusakan, mulai dari aspal jalan yang sudah mulai rusak maupun kondisi jalan yang masih dibiarkan berupa tanah.
Infrastruktur lain di desa Madigondo adalah gedung kelurahan. Desa Madigondo memiliki gedung kelurahan yang cukup megah, gedung ini selain digunakan sebagai tempat pertemuan warga baik untuk rapat maupun sosialisasi, juga sebagai gedung olahraga, seperti kegiatan olahraga badminton yang rutin dilaksanakan. 

E.       Kondisi Kesehatan Masyarakat
Dalam bidang kesehatan, desa Madigondo memang sudah ada fasilitas kesehatan yang memadai, keberadaan Puskesmas pembantu di desa ini sudah terpakai dengan kodisi gedung yang baru dan layak pakai . Menurut Pak Andik kepala desa Madigondo, saat ini tengah merencanakan penambahan fasilitas di Puskesmas tersebut dengan menambah peralatan dan manambah tenaga kesehatan yang professional . dan sekarang sudah siap untuk digunakan
Letak desa Madigondo yang demikian dekat atau bahkan berbatasan langsung dengan kota Madiun ini, menjadikan warga Madigondo berinisiatif untuk berobat ke kota Madiun. Sebab di kota Madiun tentu banyak fasilitas kesehatan yang memadai serta berkualitas. Ada kalanya, warga desa Madigondo berobat ke mantri kesehatan setempat atau dokter yang membuka praktek, karena di desa sendiri terdapat dua orang mantri dan satu orang dokter yang bekerja.

F.       Pola Keagamaan Masyarakat
Mayoritas penduduk desa Madigondo beragama Islam, sampai hari ini tidak ada pemeluk agama lain dalam bentuk komunitas. Secara personal dalam profil desa Madigondo juga disebutkan beberapa personal atau warga yang memang memeluk agmaa lain Namun, sementara ini tidak ada di antara mereka yang mengadakan kegiatan keagamaan di tempat umum. Dilihat dari tempat ibadah, banyak masjid maupun mushola yang menghiasi desa Madigondo. Mulai di dusun Madigondo yang terdapat masjid al-Mustaghfirin dan Miftahul Huda, dusun Ngampel teradapat Masjid Babul Firdaus, di Gambiran terdapat masjid Darul Ilmi dan Masjid Musya’idin, begitu pula di dusun Likasan, meskipun sampai hari ini masih belum selesai pembangunannya, kegiatan ibadah masih tetap berlangsung di masjid yang terdapat di Likasan tersebut.
Setiap masjid yang terdapat di Desa Madigondo secara keseluruhan digunakan sebagai Tempat Pembelajaran Al-Quran (TPA). TPA di desa Madigondo memang cukup banyak, dan hampir kesemuannya memiliki banyak anak didik yang antusias untuk belajar. Seperti TPA As-Salam yang terletak di sebelah masjid al-Mustaghfirin (RT 3 Dusun Madigondo), dimana cukup banyak santri yang belajar, baik saat kelas sore (15:30-16:30) maupun kelas malam (18:30-19:00), menurut ust. Agus –salah satu pngajar TPA- mengatakan, bahwa sebenarnya TPA ini kurang dalam hal tenaga pndidik. Begitu pula TPA yang terdapat di masjid Miftahul Huda yang santrinya mencapai 40 anak.
Kegiatan keagamaan di Desa Madigondo pun cukup beragam, di Masjid Baitul Mustaghfirin sendiri setiap malam jum’at pon ada kegiatan istighasah (mujahadah asma’ul husna) yang dipimpin langsung oleh Kiyai Khalil. Setiap rabu legi ada kegiatan pengajian yang mengundang pembicara atau Kiyai dari luar daerah, menurut Pak Gunawan peserta yang hadir kadang mencapai 300 orang. Di Masjid Darul Ilmi, selain kegiatan belajar al-Qur’an juga terdapat kegiatan kesenian hadrah, yang menurut Pak Ahmad - salah satu warga Gambiran- peserta yang hadir dari berbagai desa di kecamatan Takeran.
Kebanyakan warga desa Madigondo memiliki background Nahdliyin, sedikit bahkan hampir tidak ada yang bernaung dalam ormas lain. Hal ini tampak dari banyaknya amaliyah yang bercirikan Nahdatul Ulama’ yang diamalkan warga desa Madigondo, mulai dari kegiatan tahlilan yang dilaksanakan setiap malam jumat di Masjid Mustaghfirin, setiap ada yang meninggal pun selalu diadakan kegiatan tahlil bersama di kediaman orang yang meninggal. Selain tahlilan, beberapa mushola juga mengadakan kegiatan yasinan yang dilaksanakan oleh warga.
Di Desa Madigondo–terutama di dusun Gambiran- menurut sebagaian warga memiliki pemahaman agama yang cukup baik di banding dusun lain di desa Madigondo. Sebab di dusun Gambiran terdapat pondok pesantren Musa’idin yang telah berdiri sejak 1926 silam. Pada awalnya santri yang belajar pesantren mulai dari pagi hingga malam, akan tetapi sejak berdirinya MIN Madigondo saat pagi hari santri belajar di Madrasah dan saat malam mereka mengikuti kegiatan Dinniyyah di pesantren, mulai dari belajar al-Qur’an, kitab kuning, maupun rutinitas hadrah. Menurut warga, seluruh anak-anak maupun pemuda di dusun Gambiran tidak ada yang tidak pergi ke pesantren saat malam hari.



G.      Kondisi Pendidikan Masyarakat
Di desa Madigondo terdapat beberapa lembaga pendidikan formal, yaitu satu SD, dan dua Madrasah Ibtidaiyyah. SDN 1 Madigondo yang terletak di dusun Madigondo tampak tidak jauh berbeda dari SD pada umumnya. Satu kelas terdiri antara 15 hingga 20 siswa. Mata pelajaran juga tidak banyak berebada, BTQ (Baca Tulis Al-Qur’an) pun sudah masuk dalam jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Secara tenaga pengajar/pendidik di SDN 1 Madigiondo juga cukup memadai, hanya guru mata pelajaran bahasa inggris yang belum ada. SD ini juga terdapat berbagai ekstra yang menunjang keterampilan siswa, seperti pramuka, drum band, tari, dan sebagainya.
Sedangkan dua MI yang terdapat di desa Madigondo terletak di dusun Ngampel dan Gambiran. Madrasah yang ada di dusun Ngampel masih belum berstatus negeri sebagaimana MI di Gambiran. Madrasah ini kondisinya juga cukup miris dilihat dari jumlah siswa yang belajar di MI tersebut, satu kelas sekitar 5 anak. Hal ini disebabkan keberadaan MI yang terletak di antara dua lembaga pendidikan negeri, yaitu SDN 1 Madigondo dan MIN Madigondo. Terlebih lagi posisi desa Madigondo yang bersebelahan dengan kota Madiun. Banyak orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah negeri di banding swasta.
Mengenai MIN Madigondo memang cukup besar, siswa yang bersekolah di madrasah ini juga cukup banyak, satu kelas lebih dari 20 siswa. Sarana yang ada pun dapat dibilang cukup, mulai dari gedung untuk kegiatan pembelajaran, lapangan; baik untuk upacara maupun olahraga. Di madrasah ini juga terdapat berbagai kegiatan ekstra, mulai dari kegiatan qira’ah, kaligrafi, sempoa, tari dan lain sebagainya.
Rata-rata warga desa Madigondo memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu sekitar 900 orang. Namun, mereka yang menamatkan pendidikannya hingga strata satu juga cukup banyak, yaitu sebanyak 195 orang, , mereka yang menamatkan pendidikannya hingga strata dua juga cukup banyak, yaitu sebanyak 10 orang itu pun data pada tahun 2014. Dua tahun berselang, tentu semakin banyak di antara masyarakat yang meneruskan pendidikannya hingga tingkat lebih tinggi. Bahkan menurut warga, banyak orang-orang di Gambiran yang melanjutkan belajarnya ke luar negeri.



[1] Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Magetan, Instrumen Pendataan Profil Desa dan Kelurahan Tahun 2014Desa Madigondo Kecamatan Takeran, 2-4.
[2]  Nur Hasan , Wawancara, Madigondo,  31 Januari 2016.
[3] Mbah Jayus, Wawancara, Madigondo, 16 Februari 2016.

0 comments:

Posting Komentar