Hari itu harusnya jadi hari yang biasa saja. Saya cuma ingin ngopi santai sambil ngobrol soal penerbitan dengan seorang teman yang sedang berencana menerbitkan novelnya. Kami membahas banyak hal tentang dunia perbukuan, sampai akhirnya dia bertanya tentang Cipta Publishing. Untuk memudahkan penjelasan, saya minta dia langsung cek Instagram kami.
Dia buka aplikasinya, mengetik Cipta Publishing. Tidak muncul.
Dia coba lagi: ciptapublishing. Tetap tidak ada.
Dia bahkan mengetik @ciptapublishing. Hasilnya nihil.
Saat itu ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul—semacam firasat tidak enak. Saya ambil HP dan coba login seperti biasa. Tapi layar malah menampilkan tampilan awal Instagram, seolah akun saya memang sengaja dikeluarkan. Jantung saya langsung berdegup lebih cepat.
Saya buru-buru cek email, dan di sana muncul notifikasi yang membuat dada saya langsung sesak: email utama akun Cipta Publishing sudah diganti ke email asing yang sama sekali tidak saya kenal.
Di detik itu juga saya sadar, akun Instagram kami—arsip perjalanan, karya, dan kerja keras empat tahun terakhir—sudah diambil orang.
Rasanya campur aduk: kaget, panik, marah, takut. Tidak terbayang kalau akun itu benar-benar hilang. Bukan hanya soal foto dan postingan, tapi seluruh jejak profesional kami, kepercayaan klien, dan brand yang kami bangun pelan-pelan selama bertahun-tahun.
Saya mencoba menghubungi teman yang paham coding, berharap ada cara untuk membobol kembali aksesnya. Tapi setelah saya jelaskan semuanya, dia pun ikut bingung dan tidak bisa berbuat banyak. Kebuntuan itu membuat saya makin gelisah.
Akhirnya saya unggah status WhatsApp, sekadar berharap ada satu orang yang mungkin pernah mengalami hal yang sama.
Beberapa teman hanya membalas dengan rasa kaget. Sampai akhirnya ada satu orang yang memberi harapan: dia pernah mengalami kejadian yang mirip, dan akunnya berhasil kembali. Dia memberikan nomor orang yang dulu membantunya.
Dengan harapan yang mulai tipis tapi masih ada, saya langsung menghubungi nomor tersebut. Orang itu meminta berbagai data: email, username, password, dan informasi pendukung lainnya. Beberapa kali dicoba, tetap tidak ada hasil.
Dia bilang peluangnya tetap ada, tapi harus login langsung dari HP yang dulu biasa dipakai. Dia juga memberi beberapa rekomendasi langkah mandiri yang bisa saya coba sendiri.
Dan di situlah perjuangan sebenarnya dimulai.
Berjam-jam saya mencoba berbagai metode, berpindah-pindah menu, menelusuri fitur keamanan, bahkan mencoba kombinasi yang sebelumnya terasa mustahil. Setiap kali gagal, rasanya semakin yakin akun itu benar-benar hilang selamanya.
Tapi entah bagaimana, di salah satu percobaan itu, sebuah keajaiban terjadi: Instagram mengizinkan saya masuk menggunakan email asing yang sempat dipakai peretas.
Begitu melihat dashboard akun Cipta Publishing, rasanya seperti menemukan sesuatu yang sudah saya anggap hilang.
Tanpa pikir panjang saya langsung mengganti email, nomor HP, dan mengaktifkan autentikasi dua faktor. Saya amankan semua akses yang dulu mungkin longgar.
Alhamdulillah. Akun Cipta Publishing akhirnya selamat.
Pengalaman ini bikin saya sadar, di zaman digital seperti sekarang, kehilangan akun bisa sama sakitnya dengan kehilangan sesuatu yang fisik—bahkan lebih. Karena di dalamnya ada kenangan, kerja keras, kepercayaan orang, dan identitas usaha kita.
Dan hari itu, saya hampir kehilangan semuanya.







